Buletin At-Tauhid Edisi 43 tahun ke X
Manusia adalah makhluk yang memiliki kehidupan yang kompleks. Dengan kondisi kehidupan yang kompleks ini, manusia tidak pernah lepas dari kebutuhan dan hajat di setiap sisi kehidupannya. Untuk memenuhi kebutuhan dan hajat tersebut, terkadang ia memiliki kemampuan yang memadai sehingga bisa ia tunaikan sendiri tanpa meminta bantuan pada yang lain. Namun, tak jarang manusia membutuhkan pertolongan kepada yang lainnya, bahkan mau tak mau harus mencari bantuan karena ia tidak mampu mengatasinya sendiri. Apalagi bila ia berada dalam kondisi yang penuh kesulitan, yang apabila ia tidak mencari bantuan dan pertolongan, bisa saja kebutuhan dan hajatnya tidak terpenuhi. Akibatnya bila hal ini terjadi, maka kualitas dan keberlangsungan hidup seorang manusia akan terganggu.
Kita sering melihat orang-orang apabila ia memiliki kebutuhan atau ada kesulitan yang menimpanya, mereka akan mencari bantuan dan pertolongan. Masing-masing individu, memiliki cara dan jalan yang ia tempuh agar bisa mendapatkan bantuan. Ada yang mencari bantuan dari orang lain yang ia anggap mampu. Ada yang mencarinya melalui bantuan “orang-orang pintar”. Ada yang mencarinya dengan melakukan ritual-ritual tertentu di tempat-tempat tertentu seperti mengirimkan hasil panen ke lautan atau kawah gunung berapi. Bahkan ada yang mencarinya dengan mendatangi kuburan keramat atau binatang tertentu yang dianggap sakti. Mereka melakukan itu semua tanpa mengetahui apakah cara tersebut sudah benar dan bermanfaat, atau justru bisa menyeret mereka menuju kerugian yang sangat besar dan fatal?
Isti’anah, Isti’adzah, dan Istighotsah
Berbicara mengenai pembahasan tentang mencari pertolongan untuk kebutuhan yang diperlukan atau kesulitan yang dikhawatirkan, di dalam Islam terdapat tiga istilah yang masing-masing istilah memiliki perbedaan dengan yang lainnya. Tiga istilah tersebut adalah isti’anah, isti’adzah, dan istighotsah. Isti’anah maknanya adalah memohon pertolongan. Sementara isti’adzah adalah mencari perlindungan dari sesuatu yang ia tidak sukai atau ia takuti kepada orang yang mampu menghalanginya agar hal tersebut tidak menimpa dirinya. Dan istighotsah sendiri adalah memohon pertolongan agar terbebas dari kesulitan yangmenimpanya (Syarh Tsatsatul Ushul, Syaikh Ibnu‘Utsaimin dan Syaikh Shalih Fauzan).
Berdasarkan defensi masing-masing istilah di atas, dapat disimpulkan perbedaan dari ketiga istilah tersebut. Perbedaannya yaitu isti’anah adalah memohon pertolongan secara umum, sementara isti’adzah adalah memohon pertolongan berupa perlindungan dari kesulitan sebelum kesulitan tersebut menimpa dirinya, sedankan istighotsah adalah memohon pertolongan agar terlepas dari kesulitan setelah kesulitan tersebut menimpa dirinya.
Ketiganya Adalah Ibadah!
Tiga perkara yang telah kita bahas di atas, baik isti’anah, isti’adzah, maupun istighotsah, termasuk dalam ibadah dari berbagai macam ibadah yang ada dalam Islam. Dalil-dalil yang berasal dari Al Qur’an dan hadits menjelaskan bahwa ketiga hal tersebut adalah ibadah.Adapun dalil tegasnya adalah sebagai berikut.
Dalil tentang isti’anah adalah firman Allah dalam surat AlFatihah ayat 5 (yang artinya),“Hanya kepada-Mu kami beribadah dan hanya kepada-Mu kami meminta pertolongan.” Adapun dari hadis yaitu sabda Rasulullah “Jika engkau meminta pertolongan, maka minta tolonglah kepada Allah.” (HR. Tirmidzi, derajat : hasan shahih)
Dalil tentang isti’adzah adalah firman Allah dalam surat AlFalaq ayat 1 (yang artinya), “Katakanlah : aku berlindung kepada Allah, Rabb yang menguasai waktu subuh.” Dan surat AnNaas ayat 1 (yang artinya), “Katakanlah : aku berlindung kepada Allah, Rabb–nya manusia.”
Dalil tentang istighotsah adalah ketika Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallamberada dalam perang badar, beliau melihat pasukan kaum musyrikin yang sangat banyak dibandingkan dengan pasukan kaum muslimin.Kemudian beliau memasuki tendanya dan memohon kepada Allah sambil mengangkat tangannya seraya berdoa,“Ya Allah, sempurakanlah apa yang Engkau janjikan padaku. Ya Allah, jika Engkau hancurkan pasukan Islam ini, niscaya Engkau tidak akan disembah di muka bumi ini.” (HR. Muslim). Beliau terus menerus berdoa sampai Abu Bakar radhiyallahu ‘anhumeyakinkan beliau bahwa Allah akan menepai janji-Nya, sehingga turunlah ayat yang menjawab permohonan Nabi (yang artinya),“Ingatlah ketika kamu memohon pertolongan kepada Rabb-mu, lalu diperkenankan-Nya bagimu, (Allah berkata) Sungguh Aku akan mendatangkan bala bantuan kepadamu dengan seribu malaikat yang datang berturut-turut.”(QS. AlAnfal : 9)
Ibadah Wajib Ikhlas dan Ditujukan Hanya Kepada Allah
Segala macam bentuk ibadah, baik ibadah hati, ucapan, maupun anggota badan, semuanya wajib ditujukan hanya kepada Allah semata dan tidak kepada selain-Nya.Barang siapa yang memalingkan ibadah sekecil apapun kepada selain Allah, maka dia tergolong musyrik. Allah Ta’ala berfirman (yang artinya),“Barang siapa yang menyembah sesembahan lain selain Allah, padahal tidak ada satu bukti pun baginya tentang itu, maka perhitungannya hanya pada Rabb–nya. Sungguh orang-orang kafir itu tidak akan beruntung.” (QS. AlMu’minun : 117)
Pada ayat ini, Allah menjelaskan bahwa orang yang menyembah sesembahan selain Allah dan di samping itu dia juga menyembah Allah, maka orang itu adalah orang kafir. Karena Allah menutup ayat ini dengan firman-Nya (yang artinya), “Sungguh orang-orang kafir itu tidak akan beruntung.” Oleh karena itu, selayaknya bagi seorang muslim sejati untuk beribadah semata-mata hanya kepada Allah. Sebab, Allah tidak sudi disekutukan dengan apapun dalam ibadah kepada-Nya.
Ketika isti’anah, isti’adzah, dan istighotsah tergolong ibadah, maka semuanya harus ditujukan kepada Allah semata. Isti’anahkepada Allah dalam perkara yang menjadi kekhususan bagi-Nya,mengandung makna bahwa seorang hamba merendahkan diri serendah-rendahnya kepada Allah, menyerahkan segala urusan kepada-Nya, dan yakin bahwa cukup dengan pertolongan-Nya saja.Perkara yang menjadi kekhususan Allah tersebut, hanya Allah saja yang mampu mewujudkannya, seperti mendatangkan rezeki, mencegah bahaya, dan menghilangkan bencana. Jika hanya Allah saja yang mampu untuk mewujudkannya, maka sebagai seorang hamba harus memohon bantuan hanya pada-Nya semata, sebagaimana firman-Nya (yang artinya), “Hanya kepada-Mu kami beribadah dan hanya kepada-Mu kami meminta pertolongan.” (QS. AlFatihah : 5)
Yang menegaskan dalil pada ayat ini adalah Allah mengedepankan objek “hanya kepada-Mu” daripada kata kerja dan subjeknya “kami menyembah”. Dalam bahasa Arab, mengedepankan objek yang seharusnya di belakang, daripada kata kerja dan subjeknya yang seharusnya di depan, menunjukkan adanya pembatasan dan kekhususan dalam ibadah dan pertolongan, yang ini hanya untuk Allah saja. Jika dipalingkan kepada selain Allah, pelakunya telah berbuat syirik yang mengeluarkan dari agama.
Apabila seseorang ingin agar rezekinya dipermudah, dikaruniai anak, dijauhkan dari segala mara bahaya, dan dihilangkan segala kesulitannya, maka dia hanya boleh meminta pada Allah saja. Tidak pantas dia meminta kepada makhluk bahkan orang yang sudah mati, meskipun dulunya adalah seorang nabi ataupun wali. Hanya Allah saja yang mampu mewujudkan dan mengabulkannya karena semua itu merupakan kekhususan bagi Allah.
Kapankah Boleh Meminta Pertolongan pada Makhluk?
Apabila seseorang ingin meminta pertolongan kepada makhluk, maka ada beberapa syarat yang harus dipenuhi. Pertama, makhluk itu hidup. Jika makhluk itu mati maka tidak boleh dimintai pertolongannya, meskipun di masa hidupnya dulu ia seorang nabi, wali, atau orang saleh. Kedua, makhluk itu hadir di hadapannya. Jika makhluk itu tidak hadir seperti jin, maka ia tidak boleh meminta pertolongan pada makhluk tersebut. Ketiga, makhluk itu mampu untuk memberikan pertolongan, semisal membawakan barang yang berat, meminjamkan uang, atau yang lainnya. Jika makhluk itu tidak mampu, maka ini adalah perbuatan sia-sia dan mengolok-olok makhluk tersebut. Jika dalam hal yang menjadi kekhususan Allah, maka ini adalah perbuatan syirik karena hanya Allah yang mampu mengabulkannya dan tidak ada satu pun selain Allah yang mampu (Syarh Ushul Tsalatsah Syaikh Utsaimin).
Jika ketiga syarat di atas terpenuhi, maka seseorang boleh meminta bantuan kepada makhluk dan tentu saja meminta bantuan dalam hal kebaikan atau mubah. Tidak boleh memberikan bantuan dalam kejahatan atau dosa sebagai mana firman-Nya (yang artinya), “..dan saling tolong-menolonglah kamu dalam kebaikan dan ketakwaan. Dan jangan saling tolong-menolong dalam dosa dan permusuhan.” (QS. AlMaa-idah : 2)
Penulis : Agung Panji Widianto, S.Ked (Alumni Ma’had Al ‘Ilmi Yogyakarta)
Muroja’ah : Ustadz Afifi Abdul Wadud